Sabtu, 26 April 2014

Rakyat Jual Hati Nurani Demi Nasi Bungkus

Demokrasi, di mana rakyat memiliki peran besar dalam tatanan pemerintahan seakan-akan mulai dialih fungsikan sebagai lambang belaka. Rakyat yang seharusnya mengawasi, memberi saran, dan berhak melakukan protes mulai kehilangan peranya dalam sistem pemerintahan, bahkan saat ini, pemerintah bersifat tertutup dalam setiap kegiatan dan juga pengolahan anggaran. Rakyat seakan-akan dibuat buta dan terpenjara dalam drama yang diperankan oleh pejabat pemerintah.
Sistem pemerintahan demokrasi Indonesia yang pejabat tingginya, baik kepala daerah maupun anggota legislatif telah secara langsung dipilih oleh rakyat. Pemilihan langsung pada hakikatnya adalah cara yang tepat dalam memenuhi kebutuhan akan perwakilan yang merangkul semua bentuk cita-cita, keinginan, serta kemudahan pengawasan yang baik dalam sebuah sistem pemerintahan yang lebih bersifat transparan. Tidak seperti yang diharapkan, pemilihan ini malah dijadikan ajang perebutan kekuasaan yang terus menerus berlangsung sehingga membuat ketidakstabilan pemerintah dalam beberapa tahun terakhir.
Berbicara mengenai perebutan kekuasaan, ada hal menarik yang dilakaukan oleh para  pejabat dalam mencari kursi jabatan atau mempertahankan jabatan. Politik uang, adalah hal yang tidak asing lagi dalam pelaksanaan sistem pemerintahan demokrasi di negeri ini. Politik uang dianggap sebagai senjata terkuat dalam setiap kegiatan politik. Semua bisa dilakukan dengan uang, mulai dari membenarkan pendapat, rekayasa hasil sidang, rekayasa hasil pengadilan, memenangkan pendapat, bahkan yang lebih memperhatinkan yaitu praktik jual beli suara baik dalam persidangan maupun dalam pemilihan umum. Semua tindakan ini pada akhirnya melahirkan pejabat pemerintahan yang hanya bersembunyi dibalik rupiah dan jauh dari yang diharapkan.
Jual beli suara, merupakan hal yang sangat menarik untuk dibicarakan, kegiatan yang mulai membudaya ini seakan akan mengalir dengan deras tanpa ada yang mampu menghentikanya. Contoh yang dapat kita lihat yaitu praktik jual beli suara dalam setiap pemilihan umum, meskipun kebanyakan dari para calon mengatakan sebagai bentuk sumbangan, tetapi tetap saja memiliki arti dan tujuan yang sama. Para calon bahkan tidak mengutamakan visi dan misi yang mereka usung dan malah bangga dan yakin dengan besaran jumlah yang telah diberikan kepada masyarakat, bahkan ada juga yang secara terang-terangan datang ke rumah warga untuk memberikan sejumlah uang agar nantinya diharapkan mau memilih.
Minimnya moral bangsa adalah penyebab utama dalam masalah yang terus menerus terulang, bahkan telah meresap dalam jati diri bangsa dan pada akhirnya mampu melahirkan budaya baru dalam tatanan kehidupan bangsa. Tetapi ada hal menarik yang perlu disoroti dalam masalah ini, yaitu besaran jumlah uang yang diberikan. Dari beberapa pernyataan warga, jumlah yang diberikan berkisar antara Rp.50.000,- sampai Rp.100.000,- setiap keluarga. Ini adalah jumlah yang sangat kecil dibanding dengan jaminan di masa depan, bahkan jumlah ini jika dihitung hanya mampu membeli nasi bungkus untuk 1 atau 2 hari tergantung jumlah anggota keluarga. Sehingga seharunya kita bertanya pada diri kita sendiri, mengapa kita rela menjual hati nurani dan masa depan bangsa demi nasi bungkus?
Banyak sekali kejadian yang bertentangan dengan hakikat sistem pemerintahan yang demokratis. Pemerintah seharusnya terbuka dan bertanggung jawab dalam segala bentuk masalah yang dihadapi bangsa. Pemerintah harus memiliki sikap cepat tanggap dalam segala bentuk kritik dan saran yang disampaikan oleh masyarakat. Selain itu, pemerintah harus bersifat terbuka, berbagi informasi mengenai hal-hal yang terjadi dalam parlemen, baik sidang maupun pengelolaan anggaran agar tercipta kembali kepercayaan dari rakyat.
Sistem pemerintahan yang sekarang telah dianggap gagal dalam memakmurkan bangsa. Sebagai warga negara, ada beberapa hal yang bisa kita lakukan demi merubah dan memperbaiki sistem pemerintahan. Kita bisa memulai dari hal yang paling kecil, yaitu mulai memperbaiki hati kita sendiri, karena bangsa yang berhati baik akan melahirkan pemimpin yang baik pula. Selanjutnya dalam memilih calon pemimpin, kita harus super selektif  kemudian mengetahui latara belakang dan riwayat hidup dari para calon. Intinya kita harus mengetahui segala sesuatu yang berkaitan dengan para calon. Kemudian yang terakhir, pilihlah calon dengan hati nurani, jangan memilih calon yang menggunakan sistem jual beli suara ataupun bentuk sumbangan, karena pada akhirnya jika terpilih calon tersebut akan condong melakukan korupsi demi mengembalikan anggaran modal kampanye yang telah dia keluarkan.
Bangsa Indonesia haruslah mampu bersatu dalam merubah sistem pemerintahan yang lebih baik, dapat merangkul seluruh lapisan masyarakat, dan memiliki sifat yang transparan. Oleh sebab itu, kita harus memilih pemimpin yang bersifat negarawan yaitu pemimpin yang selalu mengutamakan kepentingang bangsa dan bukan seorang pemimpin yang bersifat politikus yaitu pemimpin yang lebih mengutamakan kepentingan jabatan, kekuasaan politik dan kepentingan kelompok partainya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar