Demokrasi,
di mana rakyat memiliki peran besar dalam tatanan pemerintahan seakan-akan
mulai dialih fungsikan sebagai lambang belaka. Rakyat yang seharusnya
mengawasi, memberi saran, dan berhak melakukan protes mulai kehilangan peranya
dalam sistem pemerintahan, bahkan saat ini, pemerintah bersifat tertutup dalam
setiap kegiatan dan juga pengolahan anggaran. Rakyat seakan-akan dibuat buta
dan terpenjara dalam drama yang diperankan oleh pejabat pemerintah.
Sistem
pemerintahan demokrasi Indonesia yang pejabat tingginya, baik kepala daerah
maupun anggota legislatif telah secara langsung dipilih oleh rakyat. Pemilihan
langsung pada hakikatnya adalah cara yang tepat dalam memenuhi kebutuhan akan
perwakilan yang merangkul semua bentuk cita-cita, keinginan, serta kemudahan
pengawasan yang baik dalam sebuah sistem pemerintahan yang lebih bersifat
transparan. Tidak seperti yang diharapkan, pemilihan ini malah dijadikan ajang
perebutan kekuasaan yang terus menerus berlangsung sehingga membuat
ketidakstabilan pemerintah dalam beberapa tahun terakhir.
Berbicara
mengenai perebutan kekuasaan, ada hal menarik yang dilakaukan oleh para pejabat dalam mencari kursi jabatan atau
mempertahankan jabatan. Politik uang, adalah hal yang tidak asing lagi dalam
pelaksanaan sistem pemerintahan demokrasi di negeri ini. Politik uang dianggap
sebagai senjata terkuat dalam setiap kegiatan politik. Semua bisa dilakukan
dengan uang, mulai dari membenarkan pendapat, rekayasa hasil sidang, rekayasa hasil
pengadilan, memenangkan pendapat, bahkan yang lebih memperhatinkan yaitu
praktik jual beli suara baik dalam persidangan maupun dalam pemilihan umum.
Semua tindakan ini pada akhirnya melahirkan pejabat pemerintahan yang hanya bersembunyi
dibalik rupiah dan jauh dari yang diharapkan.
Jual
beli suara, merupakan hal yang sangat menarik untuk dibicarakan, kegiatan yang
mulai membudaya ini seakan akan mengalir dengan deras tanpa ada yang mampu
menghentikanya. Contoh yang dapat kita lihat yaitu praktik jual beli suara
dalam setiap pemilihan umum, meskipun kebanyakan dari para calon mengatakan
sebagai bentuk sumbangan, tetapi tetap saja memiliki arti dan tujuan yang sama.
Para calon bahkan tidak mengutamakan visi dan misi yang mereka usung dan malah
bangga dan yakin dengan besaran jumlah yang telah diberikan kepada masyarakat,
bahkan ada juga yang secara terang-terangan datang ke rumah warga untuk
memberikan sejumlah uang agar nantinya diharapkan mau memilih.
Minimnya
moral bangsa adalah penyebab utama dalam masalah yang terus menerus terulang,
bahkan telah meresap dalam jati diri bangsa dan pada akhirnya mampu melahirkan
budaya baru dalam tatanan kehidupan bangsa. Tetapi ada hal menarik yang perlu
disoroti dalam masalah ini, yaitu besaran jumlah uang yang diberikan. Dari
beberapa pernyataan warga, jumlah yang diberikan berkisar antara Rp.50.000,-
sampai Rp.100.000,- setiap keluarga. Ini adalah jumlah yang sangat kecil
dibanding dengan jaminan di masa depan, bahkan jumlah ini jika dihitung hanya
mampu membeli nasi bungkus untuk 1 atau 2 hari tergantung jumlah anggota
keluarga. Sehingga seharunya kita bertanya pada diri kita sendiri, mengapa kita
rela menjual hati nurani dan masa depan bangsa demi nasi bungkus?
Banyak
sekali kejadian yang bertentangan dengan hakikat sistem pemerintahan yang
demokratis. Pemerintah seharusnya terbuka dan bertanggung jawab dalam segala
bentuk masalah yang dihadapi bangsa. Pemerintah harus memiliki sikap cepat
tanggap dalam segala bentuk kritik dan saran yang disampaikan oleh masyarakat.
Selain itu, pemerintah harus bersifat terbuka, berbagi informasi mengenai
hal-hal yang terjadi dalam parlemen, baik sidang maupun pengelolaan anggaran
agar tercipta kembali kepercayaan dari rakyat.
Sistem
pemerintahan yang sekarang telah dianggap gagal dalam memakmurkan bangsa.
Sebagai warga negara, ada beberapa hal yang bisa kita lakukan demi merubah dan
memperbaiki sistem pemerintahan. Kita bisa memulai dari hal yang paling kecil,
yaitu mulai memperbaiki hati kita sendiri, karena bangsa yang berhati baik akan
melahirkan pemimpin yang baik pula. Selanjutnya dalam memilih calon pemimpin,
kita harus super selektif kemudian
mengetahui latara belakang dan riwayat hidup dari para calon. Intinya kita
harus mengetahui segala sesuatu yang berkaitan dengan para calon. Kemudian yang
terakhir, pilihlah calon dengan hati nurani, jangan memilih calon yang
menggunakan sistem jual beli suara ataupun bentuk sumbangan, karena pada
akhirnya jika terpilih calon tersebut akan condong melakukan korupsi demi
mengembalikan anggaran modal kampanye yang telah dia keluarkan.
Bangsa
Indonesia haruslah mampu bersatu dalam merubah sistem pemerintahan yang lebih
baik, dapat merangkul seluruh lapisan masyarakat, dan memiliki sifat yang
transparan. Oleh sebab itu, kita harus memilih pemimpin yang bersifat negarawan
yaitu pemimpin yang selalu mengutamakan kepentingang bangsa dan bukan seorang
pemimpin yang bersifat politikus yaitu pemimpin yang lebih mengutamakan
kepentingan jabatan, kekuasaan politik dan kepentingan kelompok partainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar